wisata kuliner pasar gedhe |
Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset budaya Masyarakat Solo. Pasar Gede dibangun berdasarkan rancangan arsitek berkebangsaan Belanda Ir Herman Thomas Karsten yang memulai pembangunannya pada tahun 1927. Pada 12 Januari 1930 pasar monumental itu diresmikan Paku Buwono X dengan pemotongan pita oleh GKR Emas yang menelan biaya waktu itu sekitar 650.000 gulden, yang kini setara dengan Rp 2,47 miliar. Pasar Gede pada awalnya bernama Pasar Gedhé Hardjonagoro, berasal dari nama cucu kepala Pasar Gedhé (1930 - disaat itu), seorang budayawan Jawa dari Surakarta Go Tik Swan, keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari PB XII. keturunan Tionghoa (pecinan) yang bernama Balong yang letaknya di Kelurahan Sudiropraja. Pada tahun 2000. Pasar Gedhe pernah mengalami kebakaran. Pada waktu itu, untuk sementara waktu, pasar darurat didirikan di kawasan yang sekarang telah berdiri Gedung PGS (Pusat Grosir Solo) dan BTC (Beteng Trade Center).
Perjalanan menyusuri sudut-sudut yang menjajakan kuliner khas Solo di Pasar Gedhe dilakukan Minggu pagi (26/04). Saat itu, Pasar Gedhe sedang ramai-ramainya dipadati oleh penjual dan pembeli. Di depan bangunan pasar berjajar ratusan kendaraan yang terparkir rapi. Riuh suara pedagang dan pembeli menampakkan nadi kehidupan di pasar yang terkenal lebih tinggi prestige-nya dibanding pasar tradisional lain tersebut. Pintu masuknya berkanopi lebar bertuliskan Pasar Gede dengan gaya tulisan Art Nouveau. Saat melangkahkan kaki di depan pintu masuk pasar, tepatnya disebelah kiri pintu, terdapat seorang wanita tua yang duduk pada kursi kecil, bersimpuh pada kakinya dan menghadap dagangan yang terlihat sederhana. Penjual gempol pleret tersebut menjadi tujuan pertama untuk dicicipi. Gempol pleret adalah kuliner khas yang hanya ada di Solo dan sudah ada sejak jaman raja-raja terdahulu.
Wanita tua tersebut tersenyum ramah ketika penulis mendekat bermaksud untuk membeli semangkuk es gempol pleret. Karena tempatnya yang kecil berada di sudut dan berbagi dengan pedagang lain, otomatis tidak tersedia meja maupun kursi yang memadai. Untuk menikmati jajan pasar tersebut, kita harus berjongkok maupun duduk di kursi kecil. Segera setelah memesan, gempol pleret tersebut siap untuk dinikmati. Terdiri dari gempol (tepung ketan yang berbentuk bulat pipih) dan pleret (pangsit manis) yang disiram dengan air gula jawa dan santan. Kuahnya mirip dengan kuah dawet yang manis. Rasa gempolnya gurih dan kenyal. Rasanya benar-benar menyegarkan. Untuk satu porsi dalam mangkuk kecil biasanya kita harus membayar sekitar dua ribu rupiah. Sangat murah untuk suatu cita rasa yang membuat kita bernostalgia dengan kebudayaan Jawa masa lampau.
Selesai menikmati gempol pleret, penulis beranjak meninggalkan penjual gempol pleret dan melangkahkan kaki ke dalam pasar. Disamping kanan dan kiri jalan masuk terdapat berbagai macam penjual makanan dan bahkan sandang berupa pakaian dan sepatu serta sandal. Tepat setelah pintu masuk terdapat puluhan penjual buah dan sayur yang terlihat masih sangat segar. Hiruk pikuk masih terasa mewarnai setiap sudut pasar. Berjalan lurus menyusuri selasar setelah pintu masuk, kita akan menemukan kuliner selanjutnya yang patut untuk tidak dilewatkan.
Kuliner pasar kedua yang akan memanjakan lidah terdiri dari berbagai macam jajan pasar yang dikombinasikan. Antara lain cenil yang terbuat dari tepung sagu berbentuk lonjong berwarna-warni dengan rasa kenyal, klepon yang terbuat dari tepung beras berbentuk bulat dengan isian gula merah di dalamnya, grontol yang terbuat dari jagung, tiwul khas Wonogiri, serta sawut, utri, gatot dan lopis yang terbuat dari olahan ketela pohon. Semua bisa divariasikan dengan pilihan parutan kelapa, gula merah atau gula pasir dan gula merah yang dicairkan. Harga rata-rata Rp 1.000 per bungkus. Rasanya sangat mengingatkan kita pada jajan pasar khas jawa yang sederhana namun tetap membuat lidah kita menari-nari. Karena tidak disediakan tempat untuk duduk, maka setelah sedikit mencicipi, jajan pasar tersebut dibungkus untuk dibawa pulang.
Selesai membeli berbagai jajan pasar tersebut, penulis mulai melangkahkan kaki lagi menuju wilayah di tengah pasar. Arsitektur Pasar Gedhe karya Kersten tersebut ternyata sangat multifungsi. Pasar yang biasanya terkesan lembab dan kotor tidak Nampak di Pasar ini. Lorong-lorongnya luas dan bersih, sirkulasi udaranya pun mengalir dengan lancar sehingga tidak terasa pengap. Tak berapa lama kemudian, penulis sampai di daerah tengah pasar. Karena dari tadi hanya mencicipi jajan pasar, penulis memutuskan untuk menghentikan langkah di kios penjual soto dan sop yang sudah terkenal keenakannya sejak dulu.
Ada tempat duduk terbatas yang disediakan, sambil menikmati aura khas pasar, di tengah keramaian dan diantara hilir mudik pedagang dan pembeli, penulis memutuskan untuk memesan sepiring sop ayam. Tak berapa lama, kuliner yang dipesan datang juga. Terlihat lebih mirip dengan sop yang biasa dihidangkan dalam upacara-upacara pernikahan adat jawa. Dengan porsi yang tidak begitu besar, berisi suwiran ayam, potongan wortel dan bunga kol ditambah dengan markuni. Dihidangkan bersama kuah kaldu ayam yang panas. Rasa segar segera menghampiri ketika sop masuk kemulut dan melewati kerongkongan. Paduan bumbu khas yang sempurna, hingga badan merasa lebih hangat. Sambil menikmati sop, penulis melihat aktifitas para penghuni pasar yang terlihat sibuk. Tak berapa lama, kuliner yang memanjakan lidah tersebut habis juga. Segera saja setelah membayar, penulis segera beranjak ke kuliner terakhir yang tak berada jauh dari tempat makan tersebut. Bisa dibilang jika belum merasakan kuliner yang satu ini, anda belum lengkap mengunjungi Pasar Gedhe.
Anda tidak akan kecewa. Apalagi jika datang di saat terik menyengat selepas perjalanan, es dawet telasih Bu Dermi adalah pilihan yang paling tepat. Seperti penulis kali ini, setelah merasakan nikmat sop yang panas, maka es dawet yang terkenal tersebut adalah tujuan akhir yang memuaskan dahaga kita. Sebagai perintis, Dawet Bu Dermi ini telah ada sejak Pasar Gede didirikan pada 12 Januari 1930 oleh arsitektur Thomas Karsten. Bahkan, meski Pasar Gede telah direnovasi dua kali akibat terbakar pada tahun 1947 dan 2000, hingga kini Dawet Bu Dermi masih tetap eksis, dan bisa dinikmati hanya dengan harga Rp 3.500. Kini es dawet tersebut diteruskan oleh generasinya yang ke empat, Bu Tulus Subekti. Dawet Bu Dermi, salah satu ikon dawet di Pasar Gede Solo yang selalu membuat kangen warga Solo yang merantau ke luar kota. Minuman dengan isi biji telasih, ketan hitam, nangka, bubur sumsum, cendol dengan kuah santan yang diberi pemanis dari gula merah ini sangat terkenal sejak dahulu.
Penulis harus mengantri terlebih dahulu sebelum bisa duduk dan menikmati dawet pesanan karena tempat duduknya sangat terbatas meskipun yang mengantri sangat banyak. Tapi akhirnya tiba juga giliran penulis untuk memanjakan lidah. Dalam mangkuk kecil, dawet disajikan dengan es sehingga menambah kesegarannya. Rasa gurih dan manis seakan menari - nari di lidah karena terkombinasi dari berbagai macam isi. Memang tidak salah jika dawet ini yang terbaik di antara dawet lain di kota Solo. Porsinya yang lumayan kecil ternyata cukup mengenyangkan. Setelah sendok terakhir, maka perjalanan pada minggu pagi itu pun harus segera diakhiri. Puas rasanya menikmati kuliner di pasar yang mengandung historis tersebut.
Selesai dengan dawet, penulis melangkahkan kaki meninggalkan hiruk pikuk dan suasana khas Pasar Gedhe. Sebelum benar-benar pergi, penulis memutuskan untuk membeli sedikit oleh-oleh kripik cakar ayam, karak, dan rambak yang masih menjadi keluarga besar kuliner khas Solo di Pasar Gedhe. Setelah itu, menyeberang sebentar ke arah pasar ikan hias untuk membeli kuliner khas lain sebagai oleh oleh. Tahok, terbuat dari tahu sutera dengan kuah air jahe hangat yang manis. Dijamin jika anda melakukan perjalanan seperti yang dilakukan penulis, anda akan merasa terpuaskan dari dahaga akan suasana masa lalu tanpa menguras kocek dalam-dalam. Selamat berwisata kuliner.